Pengertian
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah
hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau
sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh
DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang
berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau
beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam
bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam
bidang komersial (goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI
adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata
“intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah
kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk
melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun
kelompok.
Kita perlu memahami HaKI untuk
menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual
sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin
maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan
Inovasi-inovasi yang kreatif.
Prinsip-prinsip Hak Kekayaan
Intelektual
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
- Prinsip Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak
intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki
manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak
cipta.
- Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan suatu
perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan intelektual,
sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual
terhadap karyanya.
- Prinsip Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan
pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf
kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
- Prinsip Sosial
Prinsip sosial mengatur kepentingan
manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas
suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.
Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di Indonesia
Keberadaan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given dan
inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana.
Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu
sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau
tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI.
Secara
umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak
Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi
Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan
Varietas Tanaman.
Sebagai
konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade
Organization ) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan
perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar TRIP's
(Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang dimulai sejak
tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun 2001. Hal ini
juga akibat dari telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional di
bidang Hak Kekayaan Intelektual dan juga telah menyesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-undang tentang Hak Cipta,
Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Paten dan
Merek.
Permasalahan
mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek
teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek
terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual
adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan
yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus
dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu
mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan
berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Aspek
teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan dalam perkembangan dan
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Perkembangan teknologi informasi yang
sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia terasa semakin sempit,
informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh pelosok dunia.
Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual menjadi semakin penting.
Hal ini disebabkan Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak monopoli yang dapat
digunakan untuk melindungi investasi dan dapat dialihkan haknya.
Instansi
yang berwenang dalam mengelola Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen. HKI) yang berada
di bawah Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia. Dan khusus untuk
mengelola informasi HKI juga telah dibentuk Direktorat Teknologi Informasi di
bawah Ditjen. HKI. Sekali lagi menunjukkan bahwa pengakuan HKI di Indonesia
benar-benar mendapat perhatian yang serius.
Dengan
adanya sebuah sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual yang integral dan
mudah diakses oleh masyarakat, diharapkan tingkat permohonan pendaftaran Hak
Kekayaan Indonesia di Indonesia semakin meningkat. Sedangkan dengan penegakan
hukum secara integral (dimana termasuk di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual),
pelanggaran dalam bentuk pembajakan hasil karya intelektual yang dilindungi
undang-undang akan semakin berkurang. Sinergi antara keduanya, sistem
informasi Hak Kekayaan Intelektual dan penegakan hukum yang integral, pada
akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih beradab,
yang menghormati hasil karya cipta orang lain.
|
Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
Kepentingan polisi dalam
kedudukannya sebagai penyidik tindak pidana menggambarkan bahwa penegak hukum
dalam konteks Criminal Justice System, merupakan pintu utama dari aparat
penegak hukum lainnya. Proses penegakan hukum yang benar akan memberikan perlindungan
dan kepastian hukum terhadap masyarakat. Berdasarkan kewenangannya polisi
diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
dicurigai telah melakukan pelanggaran hukum pidana atau melakukan kejahatan.
Dalam perspektif kriminologi,
kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum
pidana tetapi lebih luas lagi mencakup setiap perbuatan anti sosial dan yang
merugikan masyarakat walaupun perbuatan tersebut belum atau tidak diatur oleh
undang-undang atau hukum pidana. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi
dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang sangat penting terkait dengan
perannya yang berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum.
Orang yang telah melakukan kejahatan tidak akan dengan sendirinya menyerahkan
diri untuk diproses melalui sistem peradilan yang ada. Karena itu, harus ada
suatu badan publik yang memulainya, dan itu pertama-tama dilakukan oleh polisi
dengan melakukan penahanan dan penyidikan.
Kepolisian merupakan salah satu
lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan. Menurut pasal 1 butir
2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), ”Penyidikan adalah
serangklaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.” Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana. Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 butir
13 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat,
polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil berbagai tindakan yang
diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu kejadian berlangsung.
Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan untuk melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan
tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah
ditetapkan. Polisi juga diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada
setiap warga masyarakat yang mengetahui jalannya suatu peristiwa kejahatan,
untuk dijadikan saksi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan tersangka pelaku
kejahatan. Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan
sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat karena polisi kurang
mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan akan membawa dampak pada
proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13 menyatakan bahwa
“Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1) Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” . Akibat kewenangan
polisi tersebut, bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan kejahatan maka
polisi akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan.
Dalam menjalankan tugasnya, polisi
tidak hanya dihadapkan dengan kejahatan biasa (konvensional) tetapi juga kejahatan
ekonomi yang merugikan masyarakat. Jika pada masa dahulu, kita mengenal bentuk
kejahatan yang sederhana, seperti mencuri, merampok, menipu atau bahkan
membunuh. Setelah itu, pelaku akan melarikan diri atau melaporkan diri kepada
polisi. Namun pada akhirnya pun kejahatan-kejahatan tersebut menunjukkan
keseriusan kejahatan yang semakin meningkat. Meningkatnya keseriusan kejahatan,
meningkatkan pula tindakan polisi dalam memperlakukan pelaku kejahatan.
Misalnya, polisi terpaksa harus menembak terlebih dahulu terhadap pelaku
kejahatan daripada menjadi korban akibat kekerasan pelaku kejahatan. Hal
tersebut disebabkan semakin banyak pelaku kejahatan yang nekad melakukan
perlawanan terhadap polisi.
Pada masa sekarang, bentuk kejahatan
sudah berubah, di samping bentuk kejahatan konvensional, kejahatan terhadap
ekonomi memiliki modus operandi yang sulit dalam pengungkapannya dan dilakukan
oleh orang berpendidikan tinggi. Kejahatan dilakukan tidak lagi oleh orang
miskin, para pejabat maupun pengusaha yang tidak miskin melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan
suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari
kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang
dibuat untuk mengatur pekerjaannya. Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa
semakin maju suatu negara akan semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di
negara tersebut. Modus operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik
yang tidak mudah dilacak, melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan
penyalahgunaan komputer, termasuk di dalamnya kasus pelanggaran Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada
hakekatnya sama halnya dengan hak kekayaan kebendaan lainnya yaitu memberikan
hak kepada para pencipta atau pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan dari
investasi dari karya intelektualnya di bidang kekayaan industri dan karya cipta
yang disebut Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di
Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Akibat pelanggaran HKI tersebut,
bukan hanya negara dirugikan dan mengancam arus investasi, tetapi Indonesia
bisa juga terancam terkena embargo atas produk ekspornya. Perkembangan
teknologi, terutama perkembangan teknologi digital, dianggap mendukung tumbuh
suburnya pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula dilakukan.
Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer, pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah. Komputer mampu mampu meggandakan dan mencetak ditambah dengan kemampuan intenet dalam menyajikan informasi menyebabkan praktek penggandaan menjadi semakin mudah pula dilakukan.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi
hal itu selain dengan menegakkan fungsi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) selama ini belum menimbulkan efek jera bagi
pelakunya sehingga tingkat pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah
sudah memiliki perangkat undang-undangnya. Kendala lainnya yaitu terbatasnya
aparat penegak hukum yang menangani masalah Hak Kekayaan Intelektual, ringannya
putusan yang dijatuhkan oleh proses peradilan kepada pelanggar, sehingga tidak
menimbulkan efek jera tadi. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai
dan mentaati hukum di bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat. Oleh
karena itu, diperlukan koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi
terkait dalam merumuskan serta menetapkan kebijakan strategis yang akan
dijadikan target untuk menurunkan dan menghilangkan pelanggaran HKI, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghargai HKI orang lain. Berkurang
atau hilangnya pelanggaran HKI di Indonesia, pada gilirannya dapat menarik para
investor khususnya investor dari luar negeri untuk menanamkan/membuka usaha di
Indonesia baik di bidang Hak Cipta maupun di bidang HKI, sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja baru yang dalam skala makro akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional.
Para investor dari luar negeri pada
umumnya menempatkan perlindungan HKI sebagai prasyarat investasi utama mereka
di suatu Negara. Upaya itu perlu dilakukan dengan strategi yang terkoordinir
sehingga menurunkan posisi Indonesia di “priority watch list” menjadi “watch
list”. Karena itu perangkat hukum sudah ada, political will dari pemerintah
sudah ada, tinggal sekarang political action. Untuk itu perlu mensinergikan dan
meningkatkan kembali koordinasi dan kerjasama di antara aparat yang terkait,
terutama aparat di bidang hukum. Dalam upaya penegakkan hukum, tugas polisi
tidak saja menyangkut kejahatan serius dengan kekerasan. Polisi juga diwajibkan
menegakkan hukum dalam kejahatan-kejahatan ringan sifatnya. Termasuk juga
kejahatan ekonomi yang juga merugikan masyarakat, sehingga perlu mendapatkan
penanganan yang serius pula. Karena itu berdasarkan kewenangannya, polisi
sebagai alat negara penegak hukum mempunyai kewenangan mempergunakan upaya
paksa untuk memanggil, menggeledah, menangkap dan menahan tersangka pelaku
kejahatan.
Secara yuridis formal, para pelaku
kejahatan yang dinyatakan sebagai tersangka tersebut sebenarnya masih dalam
proses penyidikan yang berlangsung di pihak kepolisian dan belum mendapat suatu
putusan tetap dari pengadilan. Jika mendasarkan pada asas praduga tak bersalah,
para pelaku kejahatan harus dianggap tidak bersalah, sebelum kesalahan yang
diperbuat oleh para pelaku dinyatakan dan dibuktikan dalam sidang pengadilan.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda yang konvensional.
Berdasarkan pemahaman bahwa kalau orang bicara tentang pelaku kejahatan maka konotasi orang akan menunjuk orang miskin dan tidak berpendidikan yang merupakan pelaku kejahatan. Hasil penelitian yang dilakukan Sutherland mengatakan bahwa pengusaha yang tidak miskin juga melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Demikian juga dalam hal pemberian sanksi hukum kepada para pelaku white collar crime pada umumnya relatif ringan, padahal kerugian yang yang diakibatkan oleh para pelanggar hukum ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda yang konvensional.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran
Hak Kekayaan Intelektual hanya mampu menyelesaikan masalah yang timbul
dipermukaan saja, tetapi lebih daripada itu diperlukan upaya-upaya untuk
menyelesaikan akar permasalahan yang timbul di bawah permukaan melalui tindakan
pre-emtif dan preventif sebagai sebuah perlindungan HKI secara komprehensif
dengan melibatkan semua instansi pemerintah yang bertanggung jawab. Karena itu
penegakan hukum hanya merupakan upaya penyelesaian sementara dari masalah yang
timbul di permukaan. Sementara itu harus dipahami bahwa terdapat berbagai
masalah yang lebih mendasar di bawah permukaan yang harus mampu diselesaikan
dengan cerdas dan penuh kebijakan.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum, ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan perlindungan HKI di Indonesia, karena penegakan hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan HKI. Penegakkan hukum hanya merupakan sub-sistem yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan HKI. Sub-sistem lain yang sama pentingnya adalah sub-sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum, ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak memberikan ijin kepada toko atau kaki lima yang telah melanggar atau mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.
Penegakan hukum yang kuat dan
konsisten sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan
Intelektual (HKI), namun mencegah terhadap terjadinya pelanggaran menjadi lebih
penting lagi untuk meningkatkan kualitas warga negara dan peradaban bangsa
Indonesia, karena itu prlu dilakukan introspeksi yang komprehensif terhadap
kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan atas kekayaan intektual.
Sesuai dengan prinsipnya, bahwa hukum hanyalah berfungsi sebagai media untuk
menjaga kepentingan hukum dalam masyarakat, maka perkembangan teknologi digital
yang terjadi di dunia industri harus diberikan apresiasi yang positif sebagai
konsekuens kemajuan di bidang teknologi yang dicapai oleh manusia. Agar
perkembangan tersebut tidak menimbulkan masalah baru maka tetap harus dibarengi
dengan tersedianya perangkat hukum yang memadai serta dapat menjamin adanya
kepastian hak dan kewajiban serta pengaturan tentang larangan dan kewajiban
yang harus dipatuhi.
Penegakan hukum bidang hak atas kekayaan intelektual tidak berdiri sendiri, tetapi sangat tergantung pada proses penegakan hukum secara umum, oleh karena itu kalau sistem penegakan hukum secara umum baik maka penegakan hukum HAKI juga akan baik. Aparat penegak hukum sering melakukan razia dan penggerebekan terhadap pusat-pusat penjualan barang bajakan, penggerebekan terhadap pabrik pangganda optical disc serta menyita barang selundupan hasil kejahatan terhadap produk HaKI. Bahkan banyak kasus kejahatan terhadap terhadap produk HaKI yang sudah sampai ke pengadilan, bahkan pelakunya sudah dihukum. Selama ini polisi sudah bersusah payah menyeret pelakunya ke pengadilan dengan mencari bukti-bukti pendukung kejahatan. Tapi terhadap beberapa kasus setelah sampai di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis percobaan. Hakim hendaknya harus berani menjatuhkan hukuman maksimal bila sudah ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Kejahatan Merek)
Begitu banyak terjadi pelanggaran
Hak Atas Kekayaan Intelektual, khususnya di bidang Merek di Indonesia. Kondisi
ini cukup memprihatinkan, dimana Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Akhir
Putaran Uruguay dengan UU No. 7 tahun 1994, yang salah satunya berisi tentang
aspek-aspek perlindungan di bidang Hak Atas kekayaan Intelektual. Dalam kaitan
ini sejauhmana Indonesia telah mengantisipasi berlakunya persetujuan tersebut
pada tanggal 1 Januari tahun 2000. Tujuan Penelitian ini adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum yang diberikan oleh UU No. 19 tahun 1992 dan
bagaimana keterkaitannya dengan UU No. 7 tahun 1994 serta untuk mengetahui
aspek-aspek penegakan hukum terhadap kejahatan Merek. Adapun Metodologi
Penelitian yang digunakan meliputi : obyek penelitian dibatasi pada UU No. 19
tahun 1992 dan bagaimanakah keterkaitannya dengan UU No. 7 tahun 1994 yang
berkaitan dengan TRIPs serta bagaimanakah penegakan hukum dilakukan dalam upaya
penanggulangan kejahatan Merek. Berkaitan dengan obyek yang hendak diteliti
mencakup bidang normatif dan empiris. Adapun jenis data meliputi data primer
dan data sekunder. Sedangkan teknik pengumpulan data ditempuh melalui studi
dokumen, wawancara dan pengamatan. Wilayah penelitian di DKI Jakarta dan Jawa
Barat. Teknik penyajian data dilakukan dengan teknik kualitatif dan analisa
datanya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teknik secara taksonomi.
Hasil Penelitian sebagai berikut :
a. UU No. 19 tahun 1992 telah
memberikan kepastian dan perlindungan hukum balk kepada pemilik maupun kepada
konsumen, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala dalam
penerapannya.
b. Konsekwensi diratifikasinya
persetujuan akhir putaran Uruguay yang berkaitan dengan TRIPs oleh UU No. 7
tahun 1994, berupa akibat hukum eksternal yang berarti bersedia menerima segala
kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional, sedangkan akibat
hukum internal adalah kewajiban dalam arti tidak terbatas pada usaha untuk
merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan TRIPs, namun juga harus
disertai jaminan bahwa hukum nasional itu nantinya dapat berlaku efektif.
c. c.Tidak dapat dipungkiri pembajakan
produk pakaian jadi Merek terkenal, seperti Hammer, Guess, Espril, D&G,
Country Fiesta, Osella, Levis, begitu bebasnya dipasarkan di Blok M, Tanah
Abang Jakarta dan Pasar Baru Bandung, tanpa adanya tindakan dari aparat penegak
hukum.Diakui ada beberapa perusahaan yang telah ditindak, tetapi masih terbatas
pada perusahaan kelas ten ( pengusaha konveksi ) yang tidak mempunyai status
ekonomi politik yang kuat. Kesimpulan :
o Pemerintah Cq Dirjen HCPM belum
memiliki pengalaman dan keseriusan dalam melakukan pembinaan Merek, hal ini
masih terbukti setelah 5 tahun berlakunya UU No. 19 tahun 1992 masih melakukan
pembenahan menyangkut syarat-syarat pendaftaran Merek, masih belum dibentuknya
komisi banding, belum adanya PP menyangkut persyaratan dan tata cara permintaan
pencatatan lisensi.
o 2.Secara jujur harus diakui masih
berat upaya pemerintah dalam menghadapi berlakunya persetujuan TRIPs di era
perdagangan bebas, khususnya menyangkut aspek struktural maupun budaya hukum
yang masih cukup memprihatinkan.
o 3. Kejahatan Merek sebagai salah
satu jenis kejahatan di bidang ekonomi, memerlukan strategi khusus dalam
penegakannya, berbeda dengan penegakan hukum terhadap kejahatan lainnya. Untuk
itu diperlukan pendekatan melalui politik kriminal.
Terkait disini disamping masalah
hukum ( pidana, perdata, administrasi ), juga masalah etik dan moral.
Saran-Saran:
1. Perlu adanya usaha untuk
menyebarluaskan pemahaman tentang arti, fungsi dan peranan HAKI, khususnya di
bidang Merek balk kepada masyarakat untuk mengetahui tentang hak dan
kewajibannya selaku konsumen produk, kepada para petugas instansi terkait, juga
kepada aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan profesionalismenya.
2. Perlunya pembenahan administrasi
yang jauh dari birokrasi yang berbelit disamping adanya tenaga yang handal.
3. Perlu adanya kemauan politik dari
pemerintah dan segenap pihak yang terkait untuk secara lebih sungguh-sungguh
memberantas kejahatan Merek. Untuk itu peningkatan koordinasi antar lembaga (
Dirjen HCPM, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi dan aparat penegak hukum )
merupakan solusi terbaik.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar